Rabu, 31 Juli 2013

Sebuah Catatan

Aku akan terus penasaran bagaimana Kau menulis kishaku di atas sana, di Asry-Mu yang Agung.
Hari ini, aku mendapat satu episode lagi yang sudah pecah rahasianya darimu.

Bolehkan aku untuk menulis cerita-Mu untukku hari ini, ya Allah.

Sebuah surat kuterima. Isinya pernyataan kesal seseorang padaku. Aku tahu dia sudah cukup bersabar mengahdapiku. Tapi, bagaimana lagi. Aku haus bertahan dengan sikap tak acuhku. Meski sudah kuyakinkan pada hati ini untuk membiarkannya, aku belum sanggup.

Panggilannya berkali-kali terabaikan. Kadang sengaja, kadang memang kebetulan aku tidak tahu atau tidak berkesempatan menjawabnya. Dia cukup bosan, meski aku tahu dia cukup gigih.

Membaca surat kekesalannya, aku benr-benar tidak ingin dia kesal, meski itu tujuanku, Entahlah, mungkin aku belum siap. Aku menghubunginya sebagai pengecut. Mematikan telepon sebelum ada jawaban, bahkan baru tiga kali suara telepon menyambung aku sudah menutup lagi teleponnya. Hanya itu yang bisa kulakukan. Itu saja sudah sedikit melanggar kebertahananku.

Lama sekali tak ada respon. Aku cukup gelisah, tapi tidak sampai. Dia merespon dengan membuang kekesalannya. Aku benar-benar tidak percaya begitu cepat dia melupakan benci dan mengganti dengan kasih. Nada yang diucapkannya begitu berbeda, aku tak lagi gelisah.

Kisah berikutnya terjadi saat kami bertemu dalam sebuah perjamuan besar di sebuah istana. Aku duduk di kursi, lalu melihatnya berjalan. Sedetik kami saling bersitatap, lalu aku pura-pura menyibukkan diri. Aku belum siap bertemu dengannya. Tapi, aku benar-benar merasakannya.

Pertemuan kami setelah untuk berapa tahun lamanya tadi adalah pertemuan untuk pertama kalinya. Benar-benar berbeda. Semua rindu, penasaran, teka-teki, bahagia, sedih, semua bercampur. Untuk waktu yang sangat lama kami tak saling menyapa, ternyata begitu rasanya.

Sepanjang perjamuan itu, aku memisahkan diri dari gerombolannya. Aku duduk tenang, agar sesekali dapat mencuri pandang, agar aku tahu apa yang berbeda darinya tanpa haus bertanya.

Di akhir perjamuan, entah apa yang membuatnya berlari ke gerombolan yang sedang kutemani. Aku salah tingkah. Kami terlalu dekat setelah jarak dan waktu begitu jauh memisahkan. Dan, dia masih baik.

Tak ada nada kesal, benci, apalagi dendam. Dia mengajakku bercanda, dan kubalas dengan senyum. Hanya senyum. Entah karena aku tak tahu harus bicara apa atau aku belum mau membuka mulut untuknya. Kalimat kedua yang keluar darinya adalah pertanyaan.

Ya, akhirnya aku berani menjawab pertanyaannya. Hanya itu. Lalu, kami berjalan ke tujuan masing-masing.
Kembali pada jarak dan waktu yang jauh. Pertemuan singkat yang menyebalkan, menyenangkan, dan menyedihkan. Masih mampukah aku meyakinkan diri bahwa belum tentu dia adalah yang terbaik sehingga aku tak perlu membuka hati karena belum saatnya?

Apa ya, ceritaku untuk besok hari?

Kudus, 23.52 (sebuah surat terkirim, belum kubuka)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar