Rabu, 23 Oktober 2013

Ya, Itu Tempat Tinggal Saya

Malam ini, aku sudah sangat rindu masa-masa kelamku. Ya, orang kadang merindukan masa yang indah-indah, tapi tidak denganku. Bagiku, masa kelam itu adalah bukti nyata bahwa aku pernah gila.
Sekali lagi, iya. Aku bangga pernah menjadi gila.
Harus kuakui. Aku merindukan saat itu. Tertawa lepas bersama kawan tentang berbagai kebodohan kami, menertawakan kesedihan kami, menyanyikan bersama amarah kami.

Malam ini, aku kembali berpegang tangan, mencoba melepas semua beban.
Mungkin, banyak orang yang lebih baik dan lebih hebat. Orang yang dapat melakukan yang lebih banyak dibanding yang pernah kulakukan mungkin akan berpikir bahwa aku hanya pengeluh (baca: orang yang suka mengeluh).

Aku masih hidup di masa transisi. Jika kau memintaku memilih salah satunya, aku akan menjawab dengan lantang, "Saya memilih di sini. Ya, ini tempat tinggal saya."

Ternyata, di balik kepuasanku melepas beban yang sebenarnya tak lepas dengan hanya bergila ria, aku menyesal. Di tempat tinggalku, sebut saja pondokku. Aku merepotkan para pengurus yang sekedar mengizinkanku bersua dengan malam.

Kalau mau menginap, izinnya langsung ke atas, Mbak. Kami tidak berani. Sampeyan di mana? Pengurus akan menjemput.

Demi rasa takdzim, mereka akan tetap menjalankan peraturan pondok yang mungkin menurut orang konyol. Ya, banyak hal konyol yang akan kau lakukan jika kau memutuskan pondok sebagai tempat tinggalmu.

Tepat ketika aku memutuskan menginap dengan konsekuensi setelah subuh tepat harus sudah di pondok dan dapat mengikuti ngaji quran, sebuah sms datang. Aku meluncur ke kampus.

Dengan sigap aku memberi penjelasan posisiku, bertanya posisinya, dan memutuskan tempat pertemuan.
Mereka menunggu di suatu tempat yang telah kami sepakati bersama. Tiba-tiba aku teringat kata Pak Yai,

Ke manapun kalian mengelana, selama kalian membawa nama Ponpes Inayatulloh, ini adalah rumah kalian. 

Ya, itu adalah tempat tinggal saya. Pesantren Inayatulloh. Yang masih terus berjuang menegakkan hukum di tengah  maraknya otoritas dari masing-masing pihak. Yang sedang menikmati badai masalah dan tetap tersenyum.

Terima kasih untuk Mba Dila dan Mbak Zah. Terima kasih mbak, sudah mau jemput aku untuk pulang. Terima kasih.

Senin, 14 Oktober 2013

Anak-Anakku

Wah, baru ingat kalau aku belum pernah ngenalin anak-anakku di sini.
Pantas saja, karena ternyata mereka baru kukenalkan di rumah yang dulu, :)
Meskipun tidak dapat diaku anak sendiri karena hasil melahirkan bersama, tetap saja anakku.
Baiklah, mari saya kenalkan satu persatu.
Yang pertama namanya Seriosa Biru. Dia anak sulung terbontot. Gemuk tubuhnya.
Para penglahir anak ini adalah Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2010 dan 2011. Ada banyak kisah yang dituturkan anak sulung kami ini.
Bahkan, dia juga mendikte lewat esai dan puisi.
Bagaimana mungkin cerpen dicampur esai deicampur puisi?
Penasaran? Segera cari dan beli buku terbitan Leutika Prio ini, :)





Anakku yang kedua adalah yang paling eksis. Namanya Curhat LDR. Anak ini lahir tanpa peruntungan, tetapi setelah menginjak dewasa, Ibunya merasa bangga karena anak ini bisa eksis berjajar di toko buku Gramedia dan banyak yang bertutur tentang cerita yang ada di dalamnya.

Anak ini lahir karena kegalauan sang Ibu yang merindukan suaminya. Bercerita tentang hujan, anak ini ternyata memperoleh sayang di hati para pembaca. Bapaknya sudah diberitahu tentang anak kedua ini, tapi tak kunjung pulang.

Mungkin, bagi Bapaknya, cukup tahu anak istrinya tetap hidup saja sudah bersyukur. Tidak perlu tahu bahwa kini anaknya bisa bersanding dengan anak-anak yang lain tanpa pernah lagi merasa minder, :)

Selanjutnya adalah anakku yang ketiga. Aku tetap saja belum bisa mandiri melahirkan. Jadi, hendak dikata apa ini anak pun adalah anak bersama-sama.
Anak ini lahir dengan sedikit susah payah. Tau kenapa?
Saat aku sudah pulih dan kembali, sebuah bingkisan datang. Dari luar terlihat seperti anakku. Ternyata setelah di buka sangat jauh berbeda.
Aku memrotes suster rumah sakit dan memastikan anakku tertukar. Akhirnya berselang hari aku dikirimi bayi mungil.
Namanya Senandung Ayat-Ayat Tuhan. Manis sekali. Sayangnya, aku tak tahu kalian bisa menemui anakku ini di mana.


Anakku yang keempat adalah anakku yang kupersiapkan dengan baik kelahirannya. Sayang, tidak banyak yang mau menerimanya. Begitulah manusia, terlalu indah merencana tetapi semua adalah Tuhan pemberi keputusan. Anak ini bernama Cermin, Nama, dan Pelita. Cermin adalah anak kandungku, pernah ingin kulahirkan di Kompas tapi tak ada jawaban. Jadi, kupilih rahim Leutika untuk melahirkannya bersama seorang uda bernama Agus.
Pada masa anak ini diproses, saya sedang digembleng membuat cerita yang bermodel serius di mata kuliah Penulisan Kreatif.
Berkali-kali gagal, akhirnya aku sedikit mendapat penghargaan melalui cerpen "Gua Garba".
Habis itu, tak lagi ada pengembangan berarti.
Susah amat membuat ceritera macam itu.
Salah dua dari hasil karya di kelas itu, coba kuajukan di kompetisi antologi bersama KMSI.
Alhamdulillah, salah satunya lolos.
Dialah yang akan menjadi anak kelima saya.


Namanya Menunggu Pagi. Seorang kawan bernama Ardila adalah penulisnya. Anakku yang numpang lahiran di Javakarsa Media ini akhirnya lahir dan akan di.aqiqohi Rabu, 16 Oktober 2013 dalam hajatan KMSI bertajuk Bulan Bahasa 2013. Ini wajah anakku yang ke-5.

Semoga nasib anak ini lebih mujur daripada kakak-kakaknya. Anak ini secara otomatid bisa masuk jajaran rak buku di toko buku ternama.
Semoga semakin banyak tangan yang membukanya, mengejanya, dan menyebarkannya.
Anakku pada kumcer ini kuberi nama Amanat Nogosari. 
Belum belum, aku sudah dibahagiakan oleh seorang teman yang ternyata masih perhatian pada karya teman lamanya. Seorang temanku berkata sudah membacanya dan dia mengatakan keren/bagus.

Bukankah aku pantas terharu?



Yogyakarta, 14 Oktober 2013

Antologi Cerpen KMSI

Alhamdulillah, akhirnya anak saya ke-4 lahir juga. Masih seperti sebelumnya, saya belum bisa melahirkan anak seorang diri, jadi kali ini pun belum bisa saya katakan sepenuhnya anak saya. Ini dia wajahnya, :)

Anak saya ini adalah hasil antologi bersama kawan-kawan Sastra Indonesia. Ada sepuluh penulis yang terdiri dari angkatan 2011 dan 2012. Dengan susah payah ke-sepuluh dari kami melahirkan anak ini dengan selamat.  Anak saya yang turut bernama "Amanat Nogosari". Menceritakan bagaimana kisah seorang istri yang hamil tua menunggu eksekusi mati suaminya karena tuduhan teroris yang entah benar entah salah. Buku yang diterbitkan Javakarsa Media ini dijual di toko buku seharga Rp38.000,00. Khusus acara Bulan Bahasa KMSI, mulai tanggal 16-26 Oktober, buku ini dijualpula di bazar KMSI seharga Rp20.000,00.
Jangan sampai ketinggalan koleksi anak negeri yang sedang mencoba menemukan kembali cerita-cerita serius yang nggak cuman bisa menyek-menyek, :)
Uji kepahamanmu akan cerita abstrak dan absurd di buku ini, :)