Sabtu, 08 Februari 2014

Bukan Sahabat Biasa



Hei, kalian gak pernah berkunjung ke blog-ku kan? Dasar, aku aja sering mantengin blog kalian, tahu! Bukan karena kepo, tapi karena peduli. Beda tipis lah yaoo.
Terima kasih untuk Indi, tulisan ini sudah lama banget mengendap di otak dan akhirnya keluar juga. Indi, bidan untuk kelahiran tulisan ini, terima kasih.
Ini untuk kalian.

Oke, sebenarnya sudah sejak lama aku menyimpan rasa ini. Aku terus galau, mau diungkapin atau enggak. Indi udah sering (banget nulis tentang ini) di blognya yang kece (karena majang foto kita, :D).Teteh juga udah pernah nulis di blognya, tentang “Diza Dizi” yang sampai sekarang masih kuingat. Budi juga sering cerita-cerita tentang kita, yah meski mungkin lebih spesifik gegara persoalan tertentu. Rozi? Gak tau nih dia udah pernah cerita tentang persahabatan kita atau belum.
Sejujurnya, kenapa aku merasa galau, untuk nulis ini atau enggak? Jujur aja, aku masih sering merasa kalian tidak menganggap keberadaanku sebagai sahabat. Jadi, aku malu kalau ngaku kalian sahabatku padahal kalian biasa ke aku. Perasaan ini tumbuh karena banyak perkara, apalagi semenjak aku pindah dari kos ke pondok. Waktu masih di kos aja, aku belum sepenuhnya merasa diterima oleh kalian, apalagi aku mondok, waktuku semakin tersita, sampai-sampai bisa keluarnya malem Jumat doang (malam lainnya juga bisa sebenarnya, tapi susah izinnya).
Aku sering merasa kalian berkumpul tanpa aku. Kalian menganggap aku teman biasa. Padahal, kalau kalian tahu, aku berharap punya sahabat sejati yang kuat tali persaudaraan dan kuat cintanya (eeeaaa, eh ini serius!). Aku sering merasa, aku gak bisa jadi sahabat kalian, yang kalian tuju sebagai tempat curhat, tempat nyari utang, tempat nyari bantuan, tempat berkeluh kesah, tempat nangis, tempat tertawa, dan tempat-tempat lainnya.
 Teteh, misalnya, dia masih sungkan buat cerita ke aku. Yah, mungkin ini juga dari akunya yang gak bisa jadi tempat cerita yang baik. Jujur aja kalau ada yang lagi curhat, aku cuma bisa jadi pendengar yang baik, dan meninggalkannya dengan doa kebaikan. Aku gak bisa kasih solusi apapun, jadi apa gunanya cerita ke aku? Yang ada, mungkin biasanya aku malah menambahi sedih, atau berlagak sok alim. Hei, aku ini gak alim-alim banget kok, kalian aja yang terlalu berlebihan, atau aku yang terlalu sok bersikap kayak gitu. Bagi Teteh, mungkin satu-satunya hal berharga yang bisa kuberi untuknya adalah pelukan. Seneng banget pas Teteh bilang “meski cuma dengan pelukan, aku bisa tenang.” seneng banget waktu tahu kalau aku juga bisa (sedikit) bermanfaat untuk orang yang kusayangi.
Yah, meski terkadang Teteh adalah persis seperti yang ada di tulisannya Indi, drama banget. Kadang aku merasa hal itu lebay banget, tapi itulah uniknya Teteh. Dia yang ngasih warna-warna di persahabtan kita, terutama karena banyaknya cerita yang mengalir dari lisannya. Teteh adalah orang yang bisa bikin di antara kita gak canggung, pasti ada aja hal yang dibicarakan. Kadang, aku heran, perjalanan jauh berjam-jam gak bakal kerasa kalau di sampingmu ada Teteh. Di balik ke-melow-annya, dia justru lebih dewasa daripada aku. Ya, kalau aku tuh cuma pura-pura dewasa, berlagak tegar. Kalau Teteh, menurutku, dengan menunjukkan ke-cengeng-annya, berarti dia tegar. Haduh, ngomong apa sih aku, whatever lah ya, yang penting makasih Teh. Aku belum bisa bersikap sepertimu dan membalas kebaikan-kebaikanmu.
Indi. Di balik kegarangannya, dia adalah teman yang bisa mendengar curhatan kita dengan baik. Buktinya, masing-masing dari kita pasti pernah curhat ke Indi, iya kan? Iya, dia ‘emak’ kita deh kayaknya. Yah, kadang aku juga sebel sama Indi, dalam hal ketidak tepatan waktu dan suka ngeremehin hal-hal yang menurut orang lain itu penting banget. Oh ya, Indi pernah nulis di blognya tentang “kangen kalian” tapi tak satupun namaku disebut. Hanya ada kalian berempat. Kayak orang patah hati, selesai baca blognya, aku nangis. Haha. Entah kenapa aku cemburu. Aku juga pengen ada dalam cerita di antara kalian. Tapi aku juga sadar, aku memang yang paling sering ‘gak selalu ada’ di antara kalian. Aku benar-benar takut berharap kalian menganggapku sebagai sahabat kalian, terutama untuk yang cowok-cowok. Yah, mungkin hal ini kalian anggap sepele, tapi tidak dengan para wanita. Ya gak Teh? In?
Banyak hal yang bisa kupelajari dari Indi. Dia pekerja keras. Aku salut dengan usahanya mewujudkan apa yang dia ingini. Beda banget sama aku. Semangatku hanya berkobar di awal komitmen, setelah itu bubar. Mimpi-mimpi berserakan, dan jika ingin mewujudkannya aku harus membersihkan serakan itu dan memulainya dari awal. Indi, masih ingat dengan kasusmu yang ditipu penerbit itu? Malam setelah hari launching bukumu itu, aku nangis In, minta supaya Allah membahagiankanmu dengan hal lain. Malam setelah malam itu, aku berdoa supaya Allah membalas orang jahat itu. Malam setelah malam malam itu, aku sudah tertawa-tawa karena ternyata kamu justru sudah lebih dulu bangkit. Terima kasih untuk perjuanganmu yang jadi pelajaran bagiku.
Wah, ngomongin cowok nih. Kalian tahu? Aku adalah salah satu penganut paham bahwa “tidak adak ada persahabatan abadi antara laki-laki dan perempuan kecuali berujung pada jatuh cinta”. Sejak awal, aku menganggap kalian, wahai para cowok, sebagai makhluk Tuhan yang harus dihindari. Yah, kalian tahu sendiri lah. Tapi di balik itu semua, aku juga pengen punya sahabat cowok yang bener-bener sahabat. Sebenarnya kalian, wahai Budi duhai Rozi, kita dekat karena kedekatan kalian yang bermula dari Teteh. Entah karena emang asyik atau karena kalian berbeda dengan cowok yang lain (maksute kalian ternyata juga lebay dan berperasaan, kali ya), jadilah kita semua dekat.
Budi. Aku dekat sama Budi juga karena Budi dekat dengan Teteh. Iya gak Bud? Cowok yang paling blak-blakan tentang apapun adalah Budi. Meski aku kadang kesal karena tiap bicara denganku, pembicaraan Budi selalu serius. Sekali lagi, itu membuatku merasa jauh dari kalian. Apa aku seserius itu? Apa aku gak bisa bercanda kayak kalian? Apa kalau sama aku ngomongnya harus yang formal, baku, sesuai agama, bla bla bla? Oh, percayalah, itu hanya akan membatasi ruang komunikasi kita. Budi, kalau lagi kambuh mau cerita sama kau, pasti cerita tentang hal-hal berbau agama. Aku senang kalau jawaban-jawabanku bisa membantu menyelesaikan masalahnya, tapi aku juga kesal karena aku dianggap tahu. Aku masih belajar, aku kadang juga bingung jawab pertanyaan-pertanyaan Budi yang ‘nyeleneh’.
Oh ya, satu lagi. Aku paling benci kalau Budi lagi muji-muji. Tau gak, kalau muji orang yang gak kuat imannya itu ibaratnya memotong leher orang itu? Yap, kayak bunuh orang. Aku belum jadi orang yang kuat imannya, jadi aku selalu merasa dibunuh Budi. Pokoknya, soal-soal agama, yang paling banyak obrolannya adalah aku dan Budi. Kadang di antara kita, prinsipnya beda-beda. Yah mungkin aku kalian anggap terlalu keras soal agama. Yah begitulah, yang sudah mendarah daging agak susah dicabut. Tapi sekali lagi, aku gak pengen cuma jadi penasihat agama di dalam persahabatan ini. Memangnya aku siapa, berani bicara soal agama? Kalau mau, ya ayo belajar bareng, oke Bud.
Nah yang terakhir adalah Rozi. Orang yang 11-12 denga Budi. Dari cara hidupnya, cara guyonannya, cara adaptasinya, dan cara mempertahankan hidupnya, mereka mirip (emang ini spesies apaan?). Mungkin ini yang dapat menyatukan dua sejoli Budi dan Rozi. Tentang Rozi, sampai sekarang aku masih agak sangsi kalau ada yang bilang dia dulu pernah normal. Menurutku, fitrahnya Rozi emang kayak gitu. Slengekan, blak-blakan, (kadang) pemikir, kritis, dan alay. Kalau udah ngomong soal cinta, Rozi tiba-tiba berubah 180 derajat. Dia jadi galau, alay, sok puitis, sok jadi Cu Pat Kai, orang yang paling menderita karena cinta, dan kadang Rozi tiba-tiba jadi orang ‘berwajah air berminyak’. Cie, keren kan? Artinya, dia begitu menggebu-gebu bahas cintanya, tapi begitu ada cewek yang dibahas cintanya, dia mlempem. Njelehinya, kadang Rozi juga berubah jadi sok bijak, sok pahlawan, dan sok dewasa. Bukankah kita sering geleng-geleng kepala tentang sikap Rozi yang ini, Teh, In, Bud? Haha.
Rozi adalah satu-satunya di antara kalian yang aku anggap paling jauh dariku. Aku dan Rozi bisa cerita, ngobrol lancar, tapi jarang pembicaraan itu adalah pembicaraan seorang sahabat ke sahabatnya. Apalagi waktu-waktu KMSI, Rozi bukan sahabatku, tapi dia Ketua yang harus kuhormati. Meski asyik banget saat ngobrol sama Rozi, kadang aku gak kuat otaknya tentang apa yang dia bicarakan. Yang paling nyebelin adalah ketika Rozi marah, tapi kita gak tahu secara jelas musababnya, dan kita harus manut sama mood-nya, kapan dia berhenti marah dan mau ngomongin kita. Yah, masing-masing di antara kita, diakui atau tidak, masih sangat mood-mood-an. Aku juga gitu sih, hehe.
Ya, itulah (baru sedikit) tentang kalian menurutku. Sampai sekarang, aku kadang masih bertanya-tanya, “Apa kalian menganggap aku sebagai satu di antara kalian?” momen baren-bareng kita mungkin pas di Dieng dulu. Kalian tahu? Aku print semua foto yang ada ‘kita’ baren-bareng.
Di saat aku masih meragukan apakah kalian menganggapku atau tidak, aku selalu masih menganggap kalian sahabat terbaik. Di Pondok, jika sedang ada curcol, aku sering bangga-banggain kalian. Bahwa aku punya sahabat semacam kalian, dan itu adalah kebahagiaan yang ingin aku pamerin di hadapan mereka. Kebahagiaan yang melebihi kebahagiaan mereka. Aku ceritakan kalian satu persatu. Siapa Teteh, siapa Indi, siapa Budi, dan siapa Rozi. Meskipun mereka yang mendengarku paling cuma mangut-manggut, aku puas menceritakan kalian. Di balik jauhnya jarakku dengan kalian, di balik aku yang susah berkumpul di antara kalian, misalnya ketika momen-momen penting kalian (sebut saja momen ulang tahun kalian) aku tidak selalu ada, kalian selalu ada dalam doaku (cieillah). Eh tapi bener, selama ini aku bangga-banggain kalian di hadapan orang-orang dan aku doa-doakan di hadapan Tuhan (yah meski gak tiap doa aku nyebut nama kalian, sih).
Layaknya status “gantung” dalam pacaran, aku masih merasa digantung. Berhakkah aku merasa kalian adalah sahabatku? Bisakah aku terus katakan kepada orang-orang kalau kalian sahabat terbaikku? Bisakah aku membanggakan persahabatan yang terdiri dari bocah Kudus, Sunda (Subang), Boyolali, arek Jember dan Mojokerto ini?
Banyak banget kisah yang pengen kutulis. Kisah yang kita lewati bersama. Aku sempat bermimpi membuat novel tentang kalian. Tapi aku nggak sesabar dan gak se-telaten Indi. Baru dapat berapa halaman, pasti aku sudah menyerah. Jadi, yang kutulis ini baru setitik hitam pada ujung kuku (aduh, lupa redaksi kata yang sering diucapkan Bunda Dosen). Mungkin kalian punya bagian-bagian yang menarik untuk ditulis. Ini tulisanku baru garis besarnya kok. Hehe.
Masa-masa kuliah tidak lama lagi, bukan? Aku ingin, jika memang ini persahabatan, selamanya kekal. Bagiku, LDR cuma ada untuk orang yang pacaran atau berkhayalan punya pacar, tapi tidak dengan persahabatan. Dimanapun kalian setelah lulus nanti, jangan jadikan ini persahabatan monyet (semacam cinta monyet), maksutnya persahabatan sesaat yang kemudian luap ditelan jarak dan waktu. Jika kalian mau menganggapku sebagai salah satu di antara kalian, kuharap kalian bisa mengerti keadaanku, sikapku, dan pemikiranku. Aku pun akan berusaha memahami keadaan, sikap, dan pemikiran kalian. Persahabatan tidak butuk persamaan karena justru dari perbedaan itulah kita bersatu. Love you all.
Yogyakarta, 9 Februari 2014
Untuk Fithri Maulani Yarhamniya, Indiana Malia, Budi Wahyono, dan  M. Imam Fatkhurrozi.