Hei,
kalian gak pernah berkunjung ke blog-ku kan? Dasar, aku aja sering mantengin
blog kalian, tahu! Bukan karena kepo, tapi karena peduli. Beda tipis lah yaoo.
Terima
kasih untuk Indi, tulisan ini sudah lama banget mengendap di otak dan akhirnya
keluar juga. Indi, bidan untuk kelahiran tulisan ini, terima kasih.
Ini
untuk kalian.
Oke,
sebenarnya sudah sejak lama aku menyimpan rasa ini. Aku terus galau, mau
diungkapin atau enggak. Indi udah sering (banget nulis tentang ini) di blognya
yang kece (karena majang foto kita, :D).Teteh juga udah pernah nulis di
blognya, tentang “Diza Dizi” yang sampai sekarang masih kuingat. Budi juga
sering cerita-cerita tentang kita, yah meski mungkin lebih spesifik gegara
persoalan tertentu. Rozi? Gak tau nih dia udah pernah cerita tentang
persahabatan kita atau belum.
Sejujurnya,
kenapa aku merasa galau, untuk nulis ini atau enggak? Jujur aja, aku masih
sering merasa kalian tidak menganggap keberadaanku sebagai sahabat. Jadi, aku
malu kalau ngaku kalian sahabatku padahal kalian biasa ke aku. Perasaan ini
tumbuh karena banyak perkara, apalagi semenjak aku pindah dari kos ke pondok. Waktu
masih di kos aja, aku belum sepenuhnya merasa diterima oleh kalian, apalagi aku
mondok, waktuku semakin tersita, sampai-sampai bisa keluarnya malem Jumat doang
(malam lainnya juga bisa sebenarnya, tapi susah izinnya).
Aku
sering merasa kalian berkumpul tanpa aku. Kalian menganggap aku teman biasa. Padahal,
kalau kalian tahu, aku berharap punya sahabat sejati yang kuat tali
persaudaraan dan kuat cintanya (eeeaaa, eh ini serius!). Aku sering merasa, aku
gak bisa jadi sahabat kalian, yang kalian tuju sebagai tempat curhat, tempat
nyari utang, tempat nyari bantuan, tempat berkeluh kesah, tempat nangis, tempat
tertawa, dan tempat-tempat lainnya.
Teteh, misalnya, dia masih sungkan buat cerita
ke aku. Yah, mungkin ini juga dari akunya yang gak bisa jadi tempat cerita yang
baik. Jujur aja kalau ada yang lagi curhat, aku cuma bisa jadi pendengar yang
baik, dan meninggalkannya dengan doa kebaikan. Aku gak bisa kasih solusi
apapun, jadi apa gunanya cerita ke aku? Yang ada, mungkin biasanya aku malah
menambahi sedih, atau berlagak sok alim. Hei, aku ini gak alim-alim banget kok,
kalian aja yang terlalu berlebihan, atau aku yang terlalu sok bersikap kayak
gitu. Bagi Teteh, mungkin satu-satunya hal berharga yang bisa kuberi untuknya
adalah pelukan. Seneng banget pas Teteh bilang “meski cuma dengan pelukan, aku
bisa tenang.” seneng banget waktu tahu kalau aku juga bisa (sedikit) bermanfaat
untuk orang yang kusayangi.
Yah,
meski terkadang Teteh adalah persis seperti yang ada di tulisannya Indi, drama
banget. Kadang aku merasa hal itu lebay banget, tapi itulah uniknya Teteh. Dia
yang ngasih warna-warna di persahabtan kita, terutama karena banyaknya cerita
yang mengalir dari lisannya. Teteh adalah orang yang bisa bikin di antara kita
gak canggung, pasti ada aja hal yang dibicarakan. Kadang, aku heran, perjalanan
jauh berjam-jam gak bakal kerasa kalau di sampingmu ada Teteh. Di balik
ke-melow-annya, dia justru lebih dewasa daripada aku. Ya, kalau aku tuh cuma
pura-pura dewasa, berlagak tegar. Kalau Teteh, menurutku, dengan menunjukkan
ke-cengeng-annya, berarti dia tegar. Haduh, ngomong apa sih aku, whatever lah ya, yang penting makasih
Teh. Aku belum bisa bersikap sepertimu dan membalas kebaikan-kebaikanmu.
Indi.
Di balik kegarangannya, dia adalah teman yang bisa mendengar curhatan kita
dengan baik. Buktinya, masing-masing dari kita pasti pernah curhat ke Indi, iya
kan? Iya, dia ‘emak’ kita deh kayaknya. Yah, kadang aku juga sebel sama Indi,
dalam hal ketidak tepatan waktu dan suka ngeremehin hal-hal yang menurut orang
lain itu penting banget. Oh ya, Indi pernah nulis di blognya tentang “kangen
kalian” tapi tak satupun namaku disebut. Hanya ada kalian berempat. Kayak orang
patah hati, selesai baca blognya, aku nangis. Haha. Entah kenapa aku cemburu.
Aku juga pengen ada dalam cerita di antara kalian. Tapi aku juga sadar, aku
memang yang paling sering ‘gak selalu ada’ di antara kalian. Aku benar-benar
takut berharap kalian menganggapku sebagai sahabat kalian, terutama untuk yang
cowok-cowok. Yah, mungkin hal ini kalian anggap sepele, tapi tidak dengan para
wanita. Ya gak Teh? In?
Banyak
hal yang bisa kupelajari dari Indi. Dia pekerja keras. Aku salut dengan
usahanya mewujudkan apa yang dia ingini. Beda banget sama aku. Semangatku hanya
berkobar di awal komitmen, setelah itu bubar. Mimpi-mimpi berserakan, dan jika
ingin mewujudkannya aku harus membersihkan serakan itu dan memulainya dari
awal. Indi, masih ingat dengan kasusmu yang ditipu penerbit itu? Malam setelah
hari launching bukumu itu, aku nangis
In, minta supaya Allah membahagiankanmu dengan hal lain. Malam setelah malam
itu, aku berdoa supaya Allah membalas orang jahat itu. Malam setelah malam
malam itu, aku sudah tertawa-tawa karena ternyata kamu justru sudah lebih dulu
bangkit. Terima kasih untuk perjuanganmu yang jadi pelajaran bagiku.
Wah,
ngomongin cowok nih. Kalian tahu? Aku adalah salah satu penganut paham bahwa “tidak
adak ada persahabatan abadi antara laki-laki dan perempuan kecuali berujung
pada jatuh cinta”. Sejak awal, aku menganggap kalian, wahai para cowok, sebagai
makhluk Tuhan yang harus dihindari. Yah, kalian tahu sendiri lah. Tapi di balik
itu semua, aku juga pengen punya sahabat cowok yang bener-bener sahabat. Sebenarnya
kalian, wahai Budi duhai Rozi, kita dekat karena kedekatan kalian yang bermula
dari Teteh. Entah karena emang asyik atau karena kalian berbeda dengan cowok
yang lain (maksute kalian ternyata juga lebay dan berperasaan, kali ya),
jadilah kita semua dekat.
Budi.
Aku dekat sama Budi juga karena Budi dekat dengan Teteh. Iya gak Bud? Cowok
yang paling blak-blakan tentang apapun adalah Budi. Meski aku kadang kesal
karena tiap bicara denganku, pembicaraan Budi selalu serius. Sekali lagi, itu
membuatku merasa jauh dari kalian. Apa aku seserius itu? Apa aku gak bisa
bercanda kayak kalian? Apa kalau sama aku ngomongnya harus yang formal, baku,
sesuai agama, bla bla bla? Oh, percayalah, itu hanya akan membatasi ruang
komunikasi kita. Budi, kalau lagi kambuh mau cerita sama kau, pasti cerita
tentang hal-hal berbau agama. Aku senang kalau jawaban-jawabanku bisa membantu
menyelesaikan masalahnya, tapi aku juga kesal karena aku dianggap tahu. Aku masih
belajar, aku kadang juga bingung jawab pertanyaan-pertanyaan Budi yang ‘nyeleneh’.
Oh
ya, satu lagi. Aku paling benci kalau Budi lagi muji-muji. Tau gak, kalau muji
orang yang gak kuat imannya itu ibaratnya memotong leher orang itu? Yap, kayak
bunuh orang. Aku belum jadi orang yang kuat imannya, jadi aku selalu merasa
dibunuh Budi. Pokoknya, soal-soal agama, yang paling banyak obrolannya adalah
aku dan Budi. Kadang di antara kita, prinsipnya beda-beda. Yah mungkin aku
kalian anggap terlalu keras soal agama. Yah begitulah, yang sudah mendarah
daging agak susah dicabut. Tapi sekali lagi, aku gak pengen cuma jadi penasihat
agama di dalam persahabatan ini. Memangnya aku siapa, berani bicara soal agama?
Kalau mau, ya ayo belajar bareng, oke Bud.
Nah
yang terakhir adalah Rozi. Orang yang 11-12 denga Budi. Dari cara hidupnya,
cara guyonannya, cara adaptasinya, dan cara mempertahankan hidupnya, mereka mirip
(emang ini spesies apaan?). Mungkin ini yang dapat menyatukan dua sejoli Budi
dan Rozi. Tentang Rozi, sampai sekarang aku masih agak sangsi kalau ada yang
bilang dia dulu pernah normal. Menurutku, fitrahnya Rozi emang kayak gitu.
Slengekan, blak-blakan, (kadang) pemikir, kritis, dan alay. Kalau udah ngomong
soal cinta, Rozi tiba-tiba berubah 180 derajat. Dia jadi galau, alay, sok
puitis, sok jadi Cu Pat Kai, orang
yang paling menderita karena cinta, dan kadang Rozi tiba-tiba jadi orang ‘berwajah
air berminyak’. Cie, keren kan? Artinya, dia begitu menggebu-gebu bahas
cintanya, tapi begitu ada cewek yang dibahas cintanya, dia mlempem. Njelehinya,
kadang Rozi juga berubah jadi sok bijak, sok pahlawan, dan sok dewasa. Bukankah
kita sering geleng-geleng kepala tentang sikap Rozi yang ini, Teh, In, Bud?
Haha.
Rozi
adalah satu-satunya di antara kalian yang aku anggap paling jauh dariku. Aku dan
Rozi bisa cerita, ngobrol lancar, tapi jarang pembicaraan itu adalah
pembicaraan seorang sahabat ke sahabatnya. Apalagi waktu-waktu KMSI, Rozi bukan
sahabatku, tapi dia Ketua yang harus kuhormati. Meski asyik banget saat ngobrol
sama Rozi, kadang aku gak kuat otaknya tentang apa yang dia bicarakan. Yang paling
nyebelin adalah ketika Rozi marah, tapi kita gak tahu secara jelas musababnya,
dan kita harus manut sama mood-nya,
kapan dia berhenti marah dan mau ngomongin kita. Yah, masing-masing di antara
kita, diakui atau tidak, masih sangat mood-mood-an.
Aku juga gitu sih, hehe.
Ya,
itulah (baru sedikit) tentang kalian menurutku. Sampai sekarang, aku kadang
masih bertanya-tanya, “Apa kalian menganggap aku sebagai satu di antara kalian?”
momen baren-bareng kita mungkin pas di Dieng dulu. Kalian tahu? Aku print semua foto yang ada ‘kita’
baren-bareng.
Di
saat aku masih meragukan apakah kalian menganggapku atau tidak, aku selalu
masih menganggap kalian sahabat terbaik. Di Pondok, jika sedang ada curcol, aku
sering bangga-banggain kalian. Bahwa aku punya sahabat semacam kalian, dan itu
adalah kebahagiaan yang ingin aku pamerin di hadapan mereka. Kebahagiaan yang
melebihi kebahagiaan mereka. Aku ceritakan kalian satu persatu. Siapa Teteh,
siapa Indi, siapa Budi, dan siapa Rozi. Meskipun mereka yang mendengarku paling
cuma mangut-manggut, aku puas menceritakan kalian. Di balik jauhnya jarakku
dengan kalian, di balik aku yang susah berkumpul di antara kalian, misalnya
ketika momen-momen penting kalian (sebut saja momen ulang tahun kalian) aku
tidak selalu ada, kalian selalu ada dalam doaku (cieillah). Eh tapi bener,
selama ini aku bangga-banggain kalian di hadapan orang-orang dan aku doa-doakan
di hadapan Tuhan (yah meski gak tiap doa aku nyebut nama kalian, sih).
Layaknya
status “gantung” dalam pacaran, aku masih merasa digantung. Berhakkah aku
merasa kalian adalah sahabatku? Bisakah aku terus katakan kepada orang-orang
kalau kalian sahabat terbaikku? Bisakah aku membanggakan persahabatan yang
terdiri dari bocah Kudus, Sunda (Subang), Boyolali, arek Jember dan Mojokerto
ini?
Banyak
banget kisah yang pengen kutulis. Kisah yang kita lewati bersama. Aku sempat
bermimpi membuat novel tentang kalian. Tapi aku nggak sesabar dan gak se-telaten
Indi. Baru dapat berapa halaman, pasti aku sudah menyerah. Jadi, yang kutulis
ini baru setitik hitam pada ujung kuku (aduh, lupa redaksi kata yang sering
diucapkan Bunda Dosen). Mungkin kalian punya bagian-bagian yang menarik untuk
ditulis. Ini tulisanku baru garis besarnya kok. Hehe.
Masa-masa
kuliah tidak lama lagi, bukan? Aku ingin, jika memang ini persahabatan,
selamanya kekal. Bagiku, LDR cuma ada
untuk orang yang pacaran atau berkhayalan punya pacar, tapi tidak dengan
persahabatan. Dimanapun kalian setelah lulus nanti, jangan jadikan ini
persahabatan monyet (semacam cinta monyet), maksutnya persahabatan sesaat yang
kemudian luap ditelan jarak dan waktu. Jika kalian mau menganggapku sebagai
salah satu di antara kalian, kuharap kalian bisa mengerti keadaanku, sikapku,
dan pemikiranku. Aku pun akan berusaha memahami keadaan, sikap, dan pemikiran
kalian. Persahabatan tidak butuk persamaan karena justru dari perbedaan itulah
kita bersatu. Love you all.
Yogyakarta,
9 Februari 2014
Untuk Fithri Maulani
Yarhamniya, Indiana Malia, Budi Wahyono, dan M. Imam Fatkhurrozi.