Sabtu, 08 Februari 2014

Bukan Sahabat Biasa



Hei, kalian gak pernah berkunjung ke blog-ku kan? Dasar, aku aja sering mantengin blog kalian, tahu! Bukan karena kepo, tapi karena peduli. Beda tipis lah yaoo.
Terima kasih untuk Indi, tulisan ini sudah lama banget mengendap di otak dan akhirnya keluar juga. Indi, bidan untuk kelahiran tulisan ini, terima kasih.
Ini untuk kalian.

Oke, sebenarnya sudah sejak lama aku menyimpan rasa ini. Aku terus galau, mau diungkapin atau enggak. Indi udah sering (banget nulis tentang ini) di blognya yang kece (karena majang foto kita, :D).Teteh juga udah pernah nulis di blognya, tentang “Diza Dizi” yang sampai sekarang masih kuingat. Budi juga sering cerita-cerita tentang kita, yah meski mungkin lebih spesifik gegara persoalan tertentu. Rozi? Gak tau nih dia udah pernah cerita tentang persahabatan kita atau belum.
Sejujurnya, kenapa aku merasa galau, untuk nulis ini atau enggak? Jujur aja, aku masih sering merasa kalian tidak menganggap keberadaanku sebagai sahabat. Jadi, aku malu kalau ngaku kalian sahabatku padahal kalian biasa ke aku. Perasaan ini tumbuh karena banyak perkara, apalagi semenjak aku pindah dari kos ke pondok. Waktu masih di kos aja, aku belum sepenuhnya merasa diterima oleh kalian, apalagi aku mondok, waktuku semakin tersita, sampai-sampai bisa keluarnya malem Jumat doang (malam lainnya juga bisa sebenarnya, tapi susah izinnya).
Aku sering merasa kalian berkumpul tanpa aku. Kalian menganggap aku teman biasa. Padahal, kalau kalian tahu, aku berharap punya sahabat sejati yang kuat tali persaudaraan dan kuat cintanya (eeeaaa, eh ini serius!). Aku sering merasa, aku gak bisa jadi sahabat kalian, yang kalian tuju sebagai tempat curhat, tempat nyari utang, tempat nyari bantuan, tempat berkeluh kesah, tempat nangis, tempat tertawa, dan tempat-tempat lainnya.
 Teteh, misalnya, dia masih sungkan buat cerita ke aku. Yah, mungkin ini juga dari akunya yang gak bisa jadi tempat cerita yang baik. Jujur aja kalau ada yang lagi curhat, aku cuma bisa jadi pendengar yang baik, dan meninggalkannya dengan doa kebaikan. Aku gak bisa kasih solusi apapun, jadi apa gunanya cerita ke aku? Yang ada, mungkin biasanya aku malah menambahi sedih, atau berlagak sok alim. Hei, aku ini gak alim-alim banget kok, kalian aja yang terlalu berlebihan, atau aku yang terlalu sok bersikap kayak gitu. Bagi Teteh, mungkin satu-satunya hal berharga yang bisa kuberi untuknya adalah pelukan. Seneng banget pas Teteh bilang “meski cuma dengan pelukan, aku bisa tenang.” seneng banget waktu tahu kalau aku juga bisa (sedikit) bermanfaat untuk orang yang kusayangi.
Yah, meski terkadang Teteh adalah persis seperti yang ada di tulisannya Indi, drama banget. Kadang aku merasa hal itu lebay banget, tapi itulah uniknya Teteh. Dia yang ngasih warna-warna di persahabtan kita, terutama karena banyaknya cerita yang mengalir dari lisannya. Teteh adalah orang yang bisa bikin di antara kita gak canggung, pasti ada aja hal yang dibicarakan. Kadang, aku heran, perjalanan jauh berjam-jam gak bakal kerasa kalau di sampingmu ada Teteh. Di balik ke-melow-annya, dia justru lebih dewasa daripada aku. Ya, kalau aku tuh cuma pura-pura dewasa, berlagak tegar. Kalau Teteh, menurutku, dengan menunjukkan ke-cengeng-annya, berarti dia tegar. Haduh, ngomong apa sih aku, whatever lah ya, yang penting makasih Teh. Aku belum bisa bersikap sepertimu dan membalas kebaikan-kebaikanmu.
Indi. Di balik kegarangannya, dia adalah teman yang bisa mendengar curhatan kita dengan baik. Buktinya, masing-masing dari kita pasti pernah curhat ke Indi, iya kan? Iya, dia ‘emak’ kita deh kayaknya. Yah, kadang aku juga sebel sama Indi, dalam hal ketidak tepatan waktu dan suka ngeremehin hal-hal yang menurut orang lain itu penting banget. Oh ya, Indi pernah nulis di blognya tentang “kangen kalian” tapi tak satupun namaku disebut. Hanya ada kalian berempat. Kayak orang patah hati, selesai baca blognya, aku nangis. Haha. Entah kenapa aku cemburu. Aku juga pengen ada dalam cerita di antara kalian. Tapi aku juga sadar, aku memang yang paling sering ‘gak selalu ada’ di antara kalian. Aku benar-benar takut berharap kalian menganggapku sebagai sahabat kalian, terutama untuk yang cowok-cowok. Yah, mungkin hal ini kalian anggap sepele, tapi tidak dengan para wanita. Ya gak Teh? In?
Banyak hal yang bisa kupelajari dari Indi. Dia pekerja keras. Aku salut dengan usahanya mewujudkan apa yang dia ingini. Beda banget sama aku. Semangatku hanya berkobar di awal komitmen, setelah itu bubar. Mimpi-mimpi berserakan, dan jika ingin mewujudkannya aku harus membersihkan serakan itu dan memulainya dari awal. Indi, masih ingat dengan kasusmu yang ditipu penerbit itu? Malam setelah hari launching bukumu itu, aku nangis In, minta supaya Allah membahagiankanmu dengan hal lain. Malam setelah malam itu, aku berdoa supaya Allah membalas orang jahat itu. Malam setelah malam malam itu, aku sudah tertawa-tawa karena ternyata kamu justru sudah lebih dulu bangkit. Terima kasih untuk perjuanganmu yang jadi pelajaran bagiku.
Wah, ngomongin cowok nih. Kalian tahu? Aku adalah salah satu penganut paham bahwa “tidak adak ada persahabatan abadi antara laki-laki dan perempuan kecuali berujung pada jatuh cinta”. Sejak awal, aku menganggap kalian, wahai para cowok, sebagai makhluk Tuhan yang harus dihindari. Yah, kalian tahu sendiri lah. Tapi di balik itu semua, aku juga pengen punya sahabat cowok yang bener-bener sahabat. Sebenarnya kalian, wahai Budi duhai Rozi, kita dekat karena kedekatan kalian yang bermula dari Teteh. Entah karena emang asyik atau karena kalian berbeda dengan cowok yang lain (maksute kalian ternyata juga lebay dan berperasaan, kali ya), jadilah kita semua dekat.
Budi. Aku dekat sama Budi juga karena Budi dekat dengan Teteh. Iya gak Bud? Cowok yang paling blak-blakan tentang apapun adalah Budi. Meski aku kadang kesal karena tiap bicara denganku, pembicaraan Budi selalu serius. Sekali lagi, itu membuatku merasa jauh dari kalian. Apa aku seserius itu? Apa aku gak bisa bercanda kayak kalian? Apa kalau sama aku ngomongnya harus yang formal, baku, sesuai agama, bla bla bla? Oh, percayalah, itu hanya akan membatasi ruang komunikasi kita. Budi, kalau lagi kambuh mau cerita sama kau, pasti cerita tentang hal-hal berbau agama. Aku senang kalau jawaban-jawabanku bisa membantu menyelesaikan masalahnya, tapi aku juga kesal karena aku dianggap tahu. Aku masih belajar, aku kadang juga bingung jawab pertanyaan-pertanyaan Budi yang ‘nyeleneh’.
Oh ya, satu lagi. Aku paling benci kalau Budi lagi muji-muji. Tau gak, kalau muji orang yang gak kuat imannya itu ibaratnya memotong leher orang itu? Yap, kayak bunuh orang. Aku belum jadi orang yang kuat imannya, jadi aku selalu merasa dibunuh Budi. Pokoknya, soal-soal agama, yang paling banyak obrolannya adalah aku dan Budi. Kadang di antara kita, prinsipnya beda-beda. Yah mungkin aku kalian anggap terlalu keras soal agama. Yah begitulah, yang sudah mendarah daging agak susah dicabut. Tapi sekali lagi, aku gak pengen cuma jadi penasihat agama di dalam persahabatan ini. Memangnya aku siapa, berani bicara soal agama? Kalau mau, ya ayo belajar bareng, oke Bud.
Nah yang terakhir adalah Rozi. Orang yang 11-12 denga Budi. Dari cara hidupnya, cara guyonannya, cara adaptasinya, dan cara mempertahankan hidupnya, mereka mirip (emang ini spesies apaan?). Mungkin ini yang dapat menyatukan dua sejoli Budi dan Rozi. Tentang Rozi, sampai sekarang aku masih agak sangsi kalau ada yang bilang dia dulu pernah normal. Menurutku, fitrahnya Rozi emang kayak gitu. Slengekan, blak-blakan, (kadang) pemikir, kritis, dan alay. Kalau udah ngomong soal cinta, Rozi tiba-tiba berubah 180 derajat. Dia jadi galau, alay, sok puitis, sok jadi Cu Pat Kai, orang yang paling menderita karena cinta, dan kadang Rozi tiba-tiba jadi orang ‘berwajah air berminyak’. Cie, keren kan? Artinya, dia begitu menggebu-gebu bahas cintanya, tapi begitu ada cewek yang dibahas cintanya, dia mlempem. Njelehinya, kadang Rozi juga berubah jadi sok bijak, sok pahlawan, dan sok dewasa. Bukankah kita sering geleng-geleng kepala tentang sikap Rozi yang ini, Teh, In, Bud? Haha.
Rozi adalah satu-satunya di antara kalian yang aku anggap paling jauh dariku. Aku dan Rozi bisa cerita, ngobrol lancar, tapi jarang pembicaraan itu adalah pembicaraan seorang sahabat ke sahabatnya. Apalagi waktu-waktu KMSI, Rozi bukan sahabatku, tapi dia Ketua yang harus kuhormati. Meski asyik banget saat ngobrol sama Rozi, kadang aku gak kuat otaknya tentang apa yang dia bicarakan. Yang paling nyebelin adalah ketika Rozi marah, tapi kita gak tahu secara jelas musababnya, dan kita harus manut sama mood-nya, kapan dia berhenti marah dan mau ngomongin kita. Yah, masing-masing di antara kita, diakui atau tidak, masih sangat mood-mood-an. Aku juga gitu sih, hehe.
Ya, itulah (baru sedikit) tentang kalian menurutku. Sampai sekarang, aku kadang masih bertanya-tanya, “Apa kalian menganggap aku sebagai satu di antara kalian?” momen baren-bareng kita mungkin pas di Dieng dulu. Kalian tahu? Aku print semua foto yang ada ‘kita’ baren-bareng.
Di saat aku masih meragukan apakah kalian menganggapku atau tidak, aku selalu masih menganggap kalian sahabat terbaik. Di Pondok, jika sedang ada curcol, aku sering bangga-banggain kalian. Bahwa aku punya sahabat semacam kalian, dan itu adalah kebahagiaan yang ingin aku pamerin di hadapan mereka. Kebahagiaan yang melebihi kebahagiaan mereka. Aku ceritakan kalian satu persatu. Siapa Teteh, siapa Indi, siapa Budi, dan siapa Rozi. Meskipun mereka yang mendengarku paling cuma mangut-manggut, aku puas menceritakan kalian. Di balik jauhnya jarakku dengan kalian, di balik aku yang susah berkumpul di antara kalian, misalnya ketika momen-momen penting kalian (sebut saja momen ulang tahun kalian) aku tidak selalu ada, kalian selalu ada dalam doaku (cieillah). Eh tapi bener, selama ini aku bangga-banggain kalian di hadapan orang-orang dan aku doa-doakan di hadapan Tuhan (yah meski gak tiap doa aku nyebut nama kalian, sih).
Layaknya status “gantung” dalam pacaran, aku masih merasa digantung. Berhakkah aku merasa kalian adalah sahabatku? Bisakah aku terus katakan kepada orang-orang kalau kalian sahabat terbaikku? Bisakah aku membanggakan persahabatan yang terdiri dari bocah Kudus, Sunda (Subang), Boyolali, arek Jember dan Mojokerto ini?
Banyak banget kisah yang pengen kutulis. Kisah yang kita lewati bersama. Aku sempat bermimpi membuat novel tentang kalian. Tapi aku nggak sesabar dan gak se-telaten Indi. Baru dapat berapa halaman, pasti aku sudah menyerah. Jadi, yang kutulis ini baru setitik hitam pada ujung kuku (aduh, lupa redaksi kata yang sering diucapkan Bunda Dosen). Mungkin kalian punya bagian-bagian yang menarik untuk ditulis. Ini tulisanku baru garis besarnya kok. Hehe.
Masa-masa kuliah tidak lama lagi, bukan? Aku ingin, jika memang ini persahabatan, selamanya kekal. Bagiku, LDR cuma ada untuk orang yang pacaran atau berkhayalan punya pacar, tapi tidak dengan persahabatan. Dimanapun kalian setelah lulus nanti, jangan jadikan ini persahabatan monyet (semacam cinta monyet), maksutnya persahabatan sesaat yang kemudian luap ditelan jarak dan waktu. Jika kalian mau menganggapku sebagai salah satu di antara kalian, kuharap kalian bisa mengerti keadaanku, sikapku, dan pemikiranku. Aku pun akan berusaha memahami keadaan, sikap, dan pemikiran kalian. Persahabatan tidak butuk persamaan karena justru dari perbedaan itulah kita bersatu. Love you all.
Yogyakarta, 9 Februari 2014
Untuk Fithri Maulani Yarhamniya, Indiana Malia, Budi Wahyono, dan  M. Imam Fatkhurrozi.

Selasa, 26 November 2013

Konsep Hidup

Sejak tinggal di pondok, aku belajar banyak hal. Pertama kali, ketika hujan turun malam itu, telah kubulatkan tekad. Dari Kudus, berbekal bismillah, semoga Allah memberi kekuatan. Masih kuingat betul, malam itu sekitar pukul 10 malam aku sampai di pondok. Dengan menenteng dua tas besar, aku susah payah naik ke lantai atas (waktu itu aku belum ikut menyebutnya bambu atas). Seorang santri menyambutku dan membantuku. Hujan masih turun.
Begitu kubuka kamar yang beberapa waktu sebelum aku pulang ke Kudus telah kubersihkan dan barang-barangku telah kutata, malam itu aku ingin menangis. Belum genap benar pintu kubuka. Selonjor kaki menghalangi pintu. Seorang perempuan kurus kecil tidur berselimut kain tepat di dekat pintu. Wilayah di samping kanan-kirinya dipenuhi tetesan air hujan. Bukunya berserakan. Aku sedih. Satu pelajaran, di pondok memang tirakat.
Beberapa waktu setelah itu, aku harus senantiasa mengelus dada. Banyak sekali karakter-karakter yang mengharuskanku untuk mengalah. Pelajaran selanjutnya adalah sabar. Tidak ada permusuhan di antara sesama santri. Meski terkadang jengkel, hal itu tidak perlu dilanjutkan, bahkan jika sampai melebihi 3 hari dilaknat oleh Allah.
Sistem di pondok adalah makan bersama sekali, yaitu di waktu sore. Berkali-kali dari kuliah, lelah setelah ngontel sepeda dari kampus, sudah membayangkan lezatnya makanan, ternyata di pondok tidak ada makanan. Harus keluar lagi untuk mencari atau seringnya menunggu usai isya' baru bisa keluar mencari makan. Pelajaran dalam kasus itu adalah menerima dengan ikhlas.
Pelajaran terakhir ini sebenarnya kunci dari semuanya. Dengan ikhlas, kotornya hati akan edikit terkurangi. Syukur-syukur bisa dibersihkan. Menerima adalah hal paling sulit.
Di pondok ini, pelajaran terpentingku adalah menerima. Menerima ketika diperintah Kyai/Bu Yai, menerima hidup sengsara (tirakat) untuk kebahagiaan yang lebih hakiki. Menerima disalahkan, meski benar, untuk menghindari perdebatan. Menerima apa adanya.
Hidup di dunia ini tidak boleh ngoyo. Apa yang diberikan Allah adalah yang terbaik untuk kita. Akan tetapi, sering kita tidak menyadari sehingga yang terlihat adalah pemberian Tuhan yang kurang bermanfaat. Padahal, tidak ada hal yang sia-sia yang diciptakan Allah. Bahkan, semut pun tidak sia-sia.
Menerima ketika rizqi dari Allah baru sejumlah tersebut. Puasa tiap hari bahkan kujalani, agar tidak boros jajan. Bagiku, pesta makanan adalah ketika matahari mulai terbenam dan adzan magrib dikumandangkan.
Sempat bingung juga ketika ditanya puasa Senin-Kamis atau puasa Dawud karena aku selama seminggu terakhir ini aku puasa setiap hari. Dengan puasa, aku lebih terjaga kestabilan emosinya, selalu ingat ibadah, selalu ingat kebaikan dan ketakutan terhadap azab Allah selalu muncul tiba-tiba. Selain itu, memang karena aku sedang tidak punya uang yang cukup sehingga aku harus berhemat dengan cara puasa.
Dengan menerima, Allah semakin banyak membukakan jalan untuk kita
Wallahu alam bis shawab.

Senin, 18 November 2013

Pondok Kami

Pohon rambutan di depan pondok kami belum berbuah. Hanya ada buah kecil-hijau yang segera jatuh, belum sempat masak. Anyaman pondok yang kami tinggali masih membawa angin, setiap malam, mengantarkan dingin, menusuk sumsum. Kami masih tertawa, kami masih saling bercanda, meski kami sebenarnya berduka.
Beberapa malam yang lalu, kami berkumpul. Sebuah aula beratap tinggi, berwarna dominan hijau, berpapan tulis seadanya dan beralas tikar. Kami membicarakan duka kami yang selama ini tidak terasa, atau mungkin sengaja tak dirasa agar tak bertambah duka nestapa.
Bangunan yang kami tinggali, ternyata sebuah kontrakan. Bertahun-tahun telah ditangguhkan pembayarannya. Bukan karena tak mau, tapi tak bisa. Seperiode lagi, 3 tahun, kami harus melunasinya. Seseorang dari kami menyebut nominal sekitar 1 miliar. Membayangkan saja tak mungkin, apalagi jika harus mencarinya.
Mulut kamisegera bungkam, tawa lepas kami hilang. Kami masih ingin mengaji di tempat nyaman ini. Sebuah rumah bambu, berdinding gedek dan beralas bambu. Meski angin selalu mengintip lalu menerobos kulit kami, tidak jadi masalah asal kami tetap bisa belajar, belajar tentang kehidupan.
Satu per satu kepala mengeluarkan ide-ide. Apa yang bisa dilakukan agar kami mendapatkan dana sekian. Kami mulai berpikir dan.... kami tiba-tiba melankolis.
Apa yang terjadi jika kami tidak bisa mendapatkan uang tersebut. Kami akan tinggal di mana lagi? Kami akan berlatih hadroh di mana? Di mana kami akan tertawa, saling tindih, berhimpitan saat tidur, dan mengaji. Mungknin, kami terlalu berlebihan. Tapi, itulah perasaan. Selalu berlebihan. Mendahului logika dan aturan.
Kami mencari link ke mana saja dan tiap hari kami dipusingkan perihal sistem yang membelitkan.
Tapi, kami percaya. Allah dekat dengan hamba-Nya yang meminta pertolongan-Nya.

Hari ini, kami masih mengaji. Sholat berjamaah. Belajar bersama. Tidur berselimut dingin. Kami masih yakin.. Bantuan Allah selalu datang di saat yang tepat. Allah membersamai pondok kami. Doa kami pasti didengar dan dikabulkan-Nya.

Saat hujan, di bawah atap bambu atas pondok.

Rabu, 23 Oktober 2013

Ya, Itu Tempat Tinggal Saya

Malam ini, aku sudah sangat rindu masa-masa kelamku. Ya, orang kadang merindukan masa yang indah-indah, tapi tidak denganku. Bagiku, masa kelam itu adalah bukti nyata bahwa aku pernah gila.
Sekali lagi, iya. Aku bangga pernah menjadi gila.
Harus kuakui. Aku merindukan saat itu. Tertawa lepas bersama kawan tentang berbagai kebodohan kami, menertawakan kesedihan kami, menyanyikan bersama amarah kami.

Malam ini, aku kembali berpegang tangan, mencoba melepas semua beban.
Mungkin, banyak orang yang lebih baik dan lebih hebat. Orang yang dapat melakukan yang lebih banyak dibanding yang pernah kulakukan mungkin akan berpikir bahwa aku hanya pengeluh (baca: orang yang suka mengeluh).

Aku masih hidup di masa transisi. Jika kau memintaku memilih salah satunya, aku akan menjawab dengan lantang, "Saya memilih di sini. Ya, ini tempat tinggal saya."

Ternyata, di balik kepuasanku melepas beban yang sebenarnya tak lepas dengan hanya bergila ria, aku menyesal. Di tempat tinggalku, sebut saja pondokku. Aku merepotkan para pengurus yang sekedar mengizinkanku bersua dengan malam.

Kalau mau menginap, izinnya langsung ke atas, Mbak. Kami tidak berani. Sampeyan di mana? Pengurus akan menjemput.

Demi rasa takdzim, mereka akan tetap menjalankan peraturan pondok yang mungkin menurut orang konyol. Ya, banyak hal konyol yang akan kau lakukan jika kau memutuskan pondok sebagai tempat tinggalmu.

Tepat ketika aku memutuskan menginap dengan konsekuensi setelah subuh tepat harus sudah di pondok dan dapat mengikuti ngaji quran, sebuah sms datang. Aku meluncur ke kampus.

Dengan sigap aku memberi penjelasan posisiku, bertanya posisinya, dan memutuskan tempat pertemuan.
Mereka menunggu di suatu tempat yang telah kami sepakati bersama. Tiba-tiba aku teringat kata Pak Yai,

Ke manapun kalian mengelana, selama kalian membawa nama Ponpes Inayatulloh, ini adalah rumah kalian. 

Ya, itu adalah tempat tinggal saya. Pesantren Inayatulloh. Yang masih terus berjuang menegakkan hukum di tengah  maraknya otoritas dari masing-masing pihak. Yang sedang menikmati badai masalah dan tetap tersenyum.

Terima kasih untuk Mba Dila dan Mbak Zah. Terima kasih mbak, sudah mau jemput aku untuk pulang. Terima kasih.

Senin, 14 Oktober 2013

Anak-Anakku

Wah, baru ingat kalau aku belum pernah ngenalin anak-anakku di sini.
Pantas saja, karena ternyata mereka baru kukenalkan di rumah yang dulu, :)
Meskipun tidak dapat diaku anak sendiri karena hasil melahirkan bersama, tetap saja anakku.
Baiklah, mari saya kenalkan satu persatu.
Yang pertama namanya Seriosa Biru. Dia anak sulung terbontot. Gemuk tubuhnya.
Para penglahir anak ini adalah Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2010 dan 2011. Ada banyak kisah yang dituturkan anak sulung kami ini.
Bahkan, dia juga mendikte lewat esai dan puisi.
Bagaimana mungkin cerpen dicampur esai deicampur puisi?
Penasaran? Segera cari dan beli buku terbitan Leutika Prio ini, :)





Anakku yang kedua adalah yang paling eksis. Namanya Curhat LDR. Anak ini lahir tanpa peruntungan, tetapi setelah menginjak dewasa, Ibunya merasa bangga karena anak ini bisa eksis berjajar di toko buku Gramedia dan banyak yang bertutur tentang cerita yang ada di dalamnya.

Anak ini lahir karena kegalauan sang Ibu yang merindukan suaminya. Bercerita tentang hujan, anak ini ternyata memperoleh sayang di hati para pembaca. Bapaknya sudah diberitahu tentang anak kedua ini, tapi tak kunjung pulang.

Mungkin, bagi Bapaknya, cukup tahu anak istrinya tetap hidup saja sudah bersyukur. Tidak perlu tahu bahwa kini anaknya bisa bersanding dengan anak-anak yang lain tanpa pernah lagi merasa minder, :)

Selanjutnya adalah anakku yang ketiga. Aku tetap saja belum bisa mandiri melahirkan. Jadi, hendak dikata apa ini anak pun adalah anak bersama-sama.
Anak ini lahir dengan sedikit susah payah. Tau kenapa?
Saat aku sudah pulih dan kembali, sebuah bingkisan datang. Dari luar terlihat seperti anakku. Ternyata setelah di buka sangat jauh berbeda.
Aku memrotes suster rumah sakit dan memastikan anakku tertukar. Akhirnya berselang hari aku dikirimi bayi mungil.
Namanya Senandung Ayat-Ayat Tuhan. Manis sekali. Sayangnya, aku tak tahu kalian bisa menemui anakku ini di mana.


Anakku yang keempat adalah anakku yang kupersiapkan dengan baik kelahirannya. Sayang, tidak banyak yang mau menerimanya. Begitulah manusia, terlalu indah merencana tetapi semua adalah Tuhan pemberi keputusan. Anak ini bernama Cermin, Nama, dan Pelita. Cermin adalah anak kandungku, pernah ingin kulahirkan di Kompas tapi tak ada jawaban. Jadi, kupilih rahim Leutika untuk melahirkannya bersama seorang uda bernama Agus.
Pada masa anak ini diproses, saya sedang digembleng membuat cerita yang bermodel serius di mata kuliah Penulisan Kreatif.
Berkali-kali gagal, akhirnya aku sedikit mendapat penghargaan melalui cerpen "Gua Garba".
Habis itu, tak lagi ada pengembangan berarti.
Susah amat membuat ceritera macam itu.
Salah dua dari hasil karya di kelas itu, coba kuajukan di kompetisi antologi bersama KMSI.
Alhamdulillah, salah satunya lolos.
Dialah yang akan menjadi anak kelima saya.


Namanya Menunggu Pagi. Seorang kawan bernama Ardila adalah penulisnya. Anakku yang numpang lahiran di Javakarsa Media ini akhirnya lahir dan akan di.aqiqohi Rabu, 16 Oktober 2013 dalam hajatan KMSI bertajuk Bulan Bahasa 2013. Ini wajah anakku yang ke-5.

Semoga nasib anak ini lebih mujur daripada kakak-kakaknya. Anak ini secara otomatid bisa masuk jajaran rak buku di toko buku ternama.
Semoga semakin banyak tangan yang membukanya, mengejanya, dan menyebarkannya.
Anakku pada kumcer ini kuberi nama Amanat Nogosari. 
Belum belum, aku sudah dibahagiakan oleh seorang teman yang ternyata masih perhatian pada karya teman lamanya. Seorang temanku berkata sudah membacanya dan dia mengatakan keren/bagus.

Bukankah aku pantas terharu?



Yogyakarta, 14 Oktober 2013

Antologi Cerpen KMSI

Alhamdulillah, akhirnya anak saya ke-4 lahir juga. Masih seperti sebelumnya, saya belum bisa melahirkan anak seorang diri, jadi kali ini pun belum bisa saya katakan sepenuhnya anak saya. Ini dia wajahnya, :)

Anak saya ini adalah hasil antologi bersama kawan-kawan Sastra Indonesia. Ada sepuluh penulis yang terdiri dari angkatan 2011 dan 2012. Dengan susah payah ke-sepuluh dari kami melahirkan anak ini dengan selamat.  Anak saya yang turut bernama "Amanat Nogosari". Menceritakan bagaimana kisah seorang istri yang hamil tua menunggu eksekusi mati suaminya karena tuduhan teroris yang entah benar entah salah. Buku yang diterbitkan Javakarsa Media ini dijual di toko buku seharga Rp38.000,00. Khusus acara Bulan Bahasa KMSI, mulai tanggal 16-26 Oktober, buku ini dijualpula di bazar KMSI seharga Rp20.000,00.
Jangan sampai ketinggalan koleksi anak negeri yang sedang mencoba menemukan kembali cerita-cerita serius yang nggak cuman bisa menyek-menyek, :)
Uji kepahamanmu akan cerita abstrak dan absurd di buku ini, :)


Jumat, 20 September 2013

Inayatulloh, Nama Pondokku

Sebuah percakapan tentang perkenalan.
"Nama kamu siapa?"
"Iza."
"Kamu tinggal di mana?"
"Di pondok Inayatulloh."

Yap, Pondok Pesantren Inayatulloh adalah tempat tinggal saya. Sebuah pondok pesantren putra-putri yang berada di selatan Tugu Monumen Jogja Kembali (Monjali). Dari arah Taman Pelangi Monjali ke timur, Anda akan menemukan perempatan lampu merah. Beloklah ke kanan (arah selatan) sampai Anda menemukan toko besar di kiri jalan yang bertuliskan "CAT LANCAR".

Nah, berehentilah sejenak dan tengoklah ke kanan. Ada sebuah toko baju berlabel "NABILA". Di sampingya ada sebuah gang kecil. Menyebranglah dan masuklah ke gang kecil tersebut. Anda akan menemukan bangunan yang terbuat dari bambu, kemudian ada bangunan lebih besar, bercat hijau, dan bertuliskan INAYATULLOH.

Mau tau lebih lanjut tentang Pondok Pesantren Inayatulloh? Mau tahu lebih banyak lagi tentang pondok yang berdiri di tengah-tengah lingkungan yang "plural" ini? To be continued....