Sore hari. Langit masih mendung. Dua awan hitam, tak terlalu pekat, berarak ke arah timur. Aku baru saja selesai mengaji. Pesantren. Aku mengaji di pesantren. Sudah tiga tahun lamanya aku di pesantren ini. Sebut saja pesantren Penolong.
Seperti pada hari Jumat sebelum-sebelumnya, tiap sore aku punya jadwal piket. Menyapu halaman pesantren. Selesai mengaji, masih memakai peci, aku mengambil sapu dan mulai membersihkan dedaunan. Jika hujan turun, setidaknya halaman sudah bersih dari daun-daun yang berguguran. Daun-daun yang tak pernah menyalahkan angin sebab menjatuhkannya.
Bicara tentang daun kering, aku teringat kejadian semalam.
Saat sholat maghrib berjamaah di masjid. Aku adalah orang yang paling senang adzan. Saat teman-teman santri belum datang, dengan segera kuambil microphon untuk melantunkan suara penyeru sholat. Selesai adzan, aku duduk beristighfar. Tepat di samping satir (penghalang/pembatas antara jamaah laki-laki dan perempuan). Mataku sedikit terganggu dengan sesuatu di balik satir. Sajadah.
Aku bisa sedikit melihat gambarnya. Aku penasaran. Entah untuk alasan apa, aku pua-pura berjalan ke saf paling belakang. Belum kutemukan seorang pun di masjid. Aku kembali ke tempat dudukku semula dengan cepat. Dengan ragu aku seret sedikit demi sedikit sajadah tadi.
Aku tidak berniat mencuri, aku bahkan tidak berniat memindahnya, hanya sedikit menggesernya. Tapi karena saking penasarannya, aku tarik sajadah tersebut sampai di depanku. Sajadah yang aneh.
Umumnya, sajadah hanya bergambar ka'bah, masjid, pintu masjid, pemandangan langit, atau ukiran-ukiran. Tapi tidak dengan sajadah ini. Gambarnya daun-daun kering yang berguguran entah dari mana dan berserakan di bagian sajadah paling bawah. Warnanya kuning, oranye, dan coklat. Setelah kuamati, ada sebuah gambar bulan bintang nan jauh di dalam sajadah, jauh dari daun-daun yang berguguran. Mungkin itu simbol masjid atau entah apa.
"Ya Allah, di mana ya?" suara seseorang mengagetkanku. Aku baru tersadar. Sudah ada beberapa orang yang masuk masjid. Tapi, itu suara perempuan. Suaranya menentramkan. Tiba-tiba aku berdebar-debar.
"Sajadahku nggak ada, Mbak!" kata perempuan itu seperti tepat di balik satir di sebelahku. Aku gemetar. Tanganku masih memegang sajadah daun. Apa sajadah ini miliknya? Aku kembali berdebar-debar. Ada dua kemungkinan. Pertama, mungkin aku takut dikira maling. Kedua, mungkin aku takut terbius dengan suara itu. Cantik nian, suaranya. Astaghfirulloh, aku telah zina telinga.
"Kang, nggak nadzoman?" tegur salah satu temanku, mengagetkanku untuk kedua kalinya. Aku gelagapan, tapi mengangguk.
"Sudah, nanti juga ketemu. Sudah biasa itu, paling lagi dipinjem orang, Mbak," kata seorangperempuan lainnya, suaranya lebih berat.
Setelah itu aku tak lagi mendengarnya. Aku mengambil microphon dan memulai nadzoman. Tanganku masih memegang sajadah daun kering. Entah kapan aku mengembalikannya ke tempat semula. Atau kukembalikan langsung kepada pemiliknya? Tapi siapa?
To be continued....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar