Selasa, 26 November 2013

Konsep Hidup

Sejak tinggal di pondok, aku belajar banyak hal. Pertama kali, ketika hujan turun malam itu, telah kubulatkan tekad. Dari Kudus, berbekal bismillah, semoga Allah memberi kekuatan. Masih kuingat betul, malam itu sekitar pukul 10 malam aku sampai di pondok. Dengan menenteng dua tas besar, aku susah payah naik ke lantai atas (waktu itu aku belum ikut menyebutnya bambu atas). Seorang santri menyambutku dan membantuku. Hujan masih turun.
Begitu kubuka kamar yang beberapa waktu sebelum aku pulang ke Kudus telah kubersihkan dan barang-barangku telah kutata, malam itu aku ingin menangis. Belum genap benar pintu kubuka. Selonjor kaki menghalangi pintu. Seorang perempuan kurus kecil tidur berselimut kain tepat di dekat pintu. Wilayah di samping kanan-kirinya dipenuhi tetesan air hujan. Bukunya berserakan. Aku sedih. Satu pelajaran, di pondok memang tirakat.
Beberapa waktu setelah itu, aku harus senantiasa mengelus dada. Banyak sekali karakter-karakter yang mengharuskanku untuk mengalah. Pelajaran selanjutnya adalah sabar. Tidak ada permusuhan di antara sesama santri. Meski terkadang jengkel, hal itu tidak perlu dilanjutkan, bahkan jika sampai melebihi 3 hari dilaknat oleh Allah.
Sistem di pondok adalah makan bersama sekali, yaitu di waktu sore. Berkali-kali dari kuliah, lelah setelah ngontel sepeda dari kampus, sudah membayangkan lezatnya makanan, ternyata di pondok tidak ada makanan. Harus keluar lagi untuk mencari atau seringnya menunggu usai isya' baru bisa keluar mencari makan. Pelajaran dalam kasus itu adalah menerima dengan ikhlas.
Pelajaran terakhir ini sebenarnya kunci dari semuanya. Dengan ikhlas, kotornya hati akan edikit terkurangi. Syukur-syukur bisa dibersihkan. Menerima adalah hal paling sulit.
Di pondok ini, pelajaran terpentingku adalah menerima. Menerima ketika diperintah Kyai/Bu Yai, menerima hidup sengsara (tirakat) untuk kebahagiaan yang lebih hakiki. Menerima disalahkan, meski benar, untuk menghindari perdebatan. Menerima apa adanya.
Hidup di dunia ini tidak boleh ngoyo. Apa yang diberikan Allah adalah yang terbaik untuk kita. Akan tetapi, sering kita tidak menyadari sehingga yang terlihat adalah pemberian Tuhan yang kurang bermanfaat. Padahal, tidak ada hal yang sia-sia yang diciptakan Allah. Bahkan, semut pun tidak sia-sia.
Menerima ketika rizqi dari Allah baru sejumlah tersebut. Puasa tiap hari bahkan kujalani, agar tidak boros jajan. Bagiku, pesta makanan adalah ketika matahari mulai terbenam dan adzan magrib dikumandangkan.
Sempat bingung juga ketika ditanya puasa Senin-Kamis atau puasa Dawud karena aku selama seminggu terakhir ini aku puasa setiap hari. Dengan puasa, aku lebih terjaga kestabilan emosinya, selalu ingat ibadah, selalu ingat kebaikan dan ketakutan terhadap azab Allah selalu muncul tiba-tiba. Selain itu, memang karena aku sedang tidak punya uang yang cukup sehingga aku harus berhemat dengan cara puasa.
Dengan menerima, Allah semakin banyak membukakan jalan untuk kita
Wallahu alam bis shawab.

Senin, 18 November 2013

Pondok Kami

Pohon rambutan di depan pondok kami belum berbuah. Hanya ada buah kecil-hijau yang segera jatuh, belum sempat masak. Anyaman pondok yang kami tinggali masih membawa angin, setiap malam, mengantarkan dingin, menusuk sumsum. Kami masih tertawa, kami masih saling bercanda, meski kami sebenarnya berduka.
Beberapa malam yang lalu, kami berkumpul. Sebuah aula beratap tinggi, berwarna dominan hijau, berpapan tulis seadanya dan beralas tikar. Kami membicarakan duka kami yang selama ini tidak terasa, atau mungkin sengaja tak dirasa agar tak bertambah duka nestapa.
Bangunan yang kami tinggali, ternyata sebuah kontrakan. Bertahun-tahun telah ditangguhkan pembayarannya. Bukan karena tak mau, tapi tak bisa. Seperiode lagi, 3 tahun, kami harus melunasinya. Seseorang dari kami menyebut nominal sekitar 1 miliar. Membayangkan saja tak mungkin, apalagi jika harus mencarinya.
Mulut kamisegera bungkam, tawa lepas kami hilang. Kami masih ingin mengaji di tempat nyaman ini. Sebuah rumah bambu, berdinding gedek dan beralas bambu. Meski angin selalu mengintip lalu menerobos kulit kami, tidak jadi masalah asal kami tetap bisa belajar, belajar tentang kehidupan.
Satu per satu kepala mengeluarkan ide-ide. Apa yang bisa dilakukan agar kami mendapatkan dana sekian. Kami mulai berpikir dan.... kami tiba-tiba melankolis.
Apa yang terjadi jika kami tidak bisa mendapatkan uang tersebut. Kami akan tinggal di mana lagi? Kami akan berlatih hadroh di mana? Di mana kami akan tertawa, saling tindih, berhimpitan saat tidur, dan mengaji. Mungknin, kami terlalu berlebihan. Tapi, itulah perasaan. Selalu berlebihan. Mendahului logika dan aturan.
Kami mencari link ke mana saja dan tiap hari kami dipusingkan perihal sistem yang membelitkan.
Tapi, kami percaya. Allah dekat dengan hamba-Nya yang meminta pertolongan-Nya.

Hari ini, kami masih mengaji. Sholat berjamaah. Belajar bersama. Tidur berselimut dingin. Kami masih yakin.. Bantuan Allah selalu datang di saat yang tepat. Allah membersamai pondok kami. Doa kami pasti didengar dan dikabulkan-Nya.

Saat hujan, di bawah atap bambu atas pondok.

Rabu, 23 Oktober 2013

Ya, Itu Tempat Tinggal Saya

Malam ini, aku sudah sangat rindu masa-masa kelamku. Ya, orang kadang merindukan masa yang indah-indah, tapi tidak denganku. Bagiku, masa kelam itu adalah bukti nyata bahwa aku pernah gila.
Sekali lagi, iya. Aku bangga pernah menjadi gila.
Harus kuakui. Aku merindukan saat itu. Tertawa lepas bersama kawan tentang berbagai kebodohan kami, menertawakan kesedihan kami, menyanyikan bersama amarah kami.

Malam ini, aku kembali berpegang tangan, mencoba melepas semua beban.
Mungkin, banyak orang yang lebih baik dan lebih hebat. Orang yang dapat melakukan yang lebih banyak dibanding yang pernah kulakukan mungkin akan berpikir bahwa aku hanya pengeluh (baca: orang yang suka mengeluh).

Aku masih hidup di masa transisi. Jika kau memintaku memilih salah satunya, aku akan menjawab dengan lantang, "Saya memilih di sini. Ya, ini tempat tinggal saya."

Ternyata, di balik kepuasanku melepas beban yang sebenarnya tak lepas dengan hanya bergila ria, aku menyesal. Di tempat tinggalku, sebut saja pondokku. Aku merepotkan para pengurus yang sekedar mengizinkanku bersua dengan malam.

Kalau mau menginap, izinnya langsung ke atas, Mbak. Kami tidak berani. Sampeyan di mana? Pengurus akan menjemput.

Demi rasa takdzim, mereka akan tetap menjalankan peraturan pondok yang mungkin menurut orang konyol. Ya, banyak hal konyol yang akan kau lakukan jika kau memutuskan pondok sebagai tempat tinggalmu.

Tepat ketika aku memutuskan menginap dengan konsekuensi setelah subuh tepat harus sudah di pondok dan dapat mengikuti ngaji quran, sebuah sms datang. Aku meluncur ke kampus.

Dengan sigap aku memberi penjelasan posisiku, bertanya posisinya, dan memutuskan tempat pertemuan.
Mereka menunggu di suatu tempat yang telah kami sepakati bersama. Tiba-tiba aku teringat kata Pak Yai,

Ke manapun kalian mengelana, selama kalian membawa nama Ponpes Inayatulloh, ini adalah rumah kalian. 

Ya, itu adalah tempat tinggal saya. Pesantren Inayatulloh. Yang masih terus berjuang menegakkan hukum di tengah  maraknya otoritas dari masing-masing pihak. Yang sedang menikmati badai masalah dan tetap tersenyum.

Terima kasih untuk Mba Dila dan Mbak Zah. Terima kasih mbak, sudah mau jemput aku untuk pulang. Terima kasih.

Senin, 14 Oktober 2013

Anak-Anakku

Wah, baru ingat kalau aku belum pernah ngenalin anak-anakku di sini.
Pantas saja, karena ternyata mereka baru kukenalkan di rumah yang dulu, :)
Meskipun tidak dapat diaku anak sendiri karena hasil melahirkan bersama, tetap saja anakku.
Baiklah, mari saya kenalkan satu persatu.
Yang pertama namanya Seriosa Biru. Dia anak sulung terbontot. Gemuk tubuhnya.
Para penglahir anak ini adalah Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2010 dan 2011. Ada banyak kisah yang dituturkan anak sulung kami ini.
Bahkan, dia juga mendikte lewat esai dan puisi.
Bagaimana mungkin cerpen dicampur esai deicampur puisi?
Penasaran? Segera cari dan beli buku terbitan Leutika Prio ini, :)





Anakku yang kedua adalah yang paling eksis. Namanya Curhat LDR. Anak ini lahir tanpa peruntungan, tetapi setelah menginjak dewasa, Ibunya merasa bangga karena anak ini bisa eksis berjajar di toko buku Gramedia dan banyak yang bertutur tentang cerita yang ada di dalamnya.

Anak ini lahir karena kegalauan sang Ibu yang merindukan suaminya. Bercerita tentang hujan, anak ini ternyata memperoleh sayang di hati para pembaca. Bapaknya sudah diberitahu tentang anak kedua ini, tapi tak kunjung pulang.

Mungkin, bagi Bapaknya, cukup tahu anak istrinya tetap hidup saja sudah bersyukur. Tidak perlu tahu bahwa kini anaknya bisa bersanding dengan anak-anak yang lain tanpa pernah lagi merasa minder, :)

Selanjutnya adalah anakku yang ketiga. Aku tetap saja belum bisa mandiri melahirkan. Jadi, hendak dikata apa ini anak pun adalah anak bersama-sama.
Anak ini lahir dengan sedikit susah payah. Tau kenapa?
Saat aku sudah pulih dan kembali, sebuah bingkisan datang. Dari luar terlihat seperti anakku. Ternyata setelah di buka sangat jauh berbeda.
Aku memrotes suster rumah sakit dan memastikan anakku tertukar. Akhirnya berselang hari aku dikirimi bayi mungil.
Namanya Senandung Ayat-Ayat Tuhan. Manis sekali. Sayangnya, aku tak tahu kalian bisa menemui anakku ini di mana.


Anakku yang keempat adalah anakku yang kupersiapkan dengan baik kelahirannya. Sayang, tidak banyak yang mau menerimanya. Begitulah manusia, terlalu indah merencana tetapi semua adalah Tuhan pemberi keputusan. Anak ini bernama Cermin, Nama, dan Pelita. Cermin adalah anak kandungku, pernah ingin kulahirkan di Kompas tapi tak ada jawaban. Jadi, kupilih rahim Leutika untuk melahirkannya bersama seorang uda bernama Agus.
Pada masa anak ini diproses, saya sedang digembleng membuat cerita yang bermodel serius di mata kuliah Penulisan Kreatif.
Berkali-kali gagal, akhirnya aku sedikit mendapat penghargaan melalui cerpen "Gua Garba".
Habis itu, tak lagi ada pengembangan berarti.
Susah amat membuat ceritera macam itu.
Salah dua dari hasil karya di kelas itu, coba kuajukan di kompetisi antologi bersama KMSI.
Alhamdulillah, salah satunya lolos.
Dialah yang akan menjadi anak kelima saya.


Namanya Menunggu Pagi. Seorang kawan bernama Ardila adalah penulisnya. Anakku yang numpang lahiran di Javakarsa Media ini akhirnya lahir dan akan di.aqiqohi Rabu, 16 Oktober 2013 dalam hajatan KMSI bertajuk Bulan Bahasa 2013. Ini wajah anakku yang ke-5.

Semoga nasib anak ini lebih mujur daripada kakak-kakaknya. Anak ini secara otomatid bisa masuk jajaran rak buku di toko buku ternama.
Semoga semakin banyak tangan yang membukanya, mengejanya, dan menyebarkannya.
Anakku pada kumcer ini kuberi nama Amanat Nogosari. 
Belum belum, aku sudah dibahagiakan oleh seorang teman yang ternyata masih perhatian pada karya teman lamanya. Seorang temanku berkata sudah membacanya dan dia mengatakan keren/bagus.

Bukankah aku pantas terharu?



Yogyakarta, 14 Oktober 2013

Antologi Cerpen KMSI

Alhamdulillah, akhirnya anak saya ke-4 lahir juga. Masih seperti sebelumnya, saya belum bisa melahirkan anak seorang diri, jadi kali ini pun belum bisa saya katakan sepenuhnya anak saya. Ini dia wajahnya, :)

Anak saya ini adalah hasil antologi bersama kawan-kawan Sastra Indonesia. Ada sepuluh penulis yang terdiri dari angkatan 2011 dan 2012. Dengan susah payah ke-sepuluh dari kami melahirkan anak ini dengan selamat.  Anak saya yang turut bernama "Amanat Nogosari". Menceritakan bagaimana kisah seorang istri yang hamil tua menunggu eksekusi mati suaminya karena tuduhan teroris yang entah benar entah salah. Buku yang diterbitkan Javakarsa Media ini dijual di toko buku seharga Rp38.000,00. Khusus acara Bulan Bahasa KMSI, mulai tanggal 16-26 Oktober, buku ini dijualpula di bazar KMSI seharga Rp20.000,00.
Jangan sampai ketinggalan koleksi anak negeri yang sedang mencoba menemukan kembali cerita-cerita serius yang nggak cuman bisa menyek-menyek, :)
Uji kepahamanmu akan cerita abstrak dan absurd di buku ini, :)


Jumat, 20 September 2013

Inayatulloh, Nama Pondokku

Sebuah percakapan tentang perkenalan.
"Nama kamu siapa?"
"Iza."
"Kamu tinggal di mana?"
"Di pondok Inayatulloh."

Yap, Pondok Pesantren Inayatulloh adalah tempat tinggal saya. Sebuah pondok pesantren putra-putri yang berada di selatan Tugu Monumen Jogja Kembali (Monjali). Dari arah Taman Pelangi Monjali ke timur, Anda akan menemukan perempatan lampu merah. Beloklah ke kanan (arah selatan) sampai Anda menemukan toko besar di kiri jalan yang bertuliskan "CAT LANCAR".

Nah, berehentilah sejenak dan tengoklah ke kanan. Ada sebuah toko baju berlabel "NABILA". Di sampingya ada sebuah gang kecil. Menyebranglah dan masuklah ke gang kecil tersebut. Anda akan menemukan bangunan yang terbuat dari bambu, kemudian ada bangunan lebih besar, bercat hijau, dan bertuliskan INAYATULLOH.

Mau tau lebih lanjut tentang Pondok Pesantren Inayatulloh? Mau tahu lebih banyak lagi tentang pondok yang berdiri di tengah-tengah lingkungan yang "plural" ini? To be continued....

Hanya Ini

Hanya ini, tempatku
menumpahkan segala peluh
rapuh

Aku tidak tahu,
Aku sudah lupa, bagaimana rasanya jatuh cinta
Aku sudah lupa

Aku tidak tahu,
Aku tidak mengerti, bagaimana caranya mencintai
atau bagaimana rasanya dicintai

Aku tidak mau,
Aku tidak berani, bagaimana jika kau kembali
biar aku sendiri

Hanya ini, tempatku
Tidak lagi pundakmu

Aku sudah lupa,
Bagaimana kau mencintai dan bagaimana aku mencintai
Bagaimana kau melindungi dan bagaimana aku melindungi

Sudah lupa aku,
Sejak kau cabut akar bungaku,
yang baru kembang tanpa diaku

Melihat dua orang bermadu di hadapanku,
aku tidak mengingatmu,
karena aku sudah lupa
bagaimana rasanya jatuh cinta

Yogyakarta, 21 September 2013